Harga Yang Pantas Untuk Sebuah Logo
Pengunjung melihat karya seni rupa pada pembukaan pameran Heri Dono di Jogja Gallery, Yogyakarta, Rabu (15/7). Pameran bertema Heri Donology digelar dari 15 Juli hingga 2 Agustus 2009. (Antara)
Sampai kapanpun, tidak akan pernah ada harga yang pas bagi sebuah karya seni. Mustahil mencari perhitungan yang matematis atau memberi nilai rupiah yang seadil-adilnya, baik untuk yang menciptakan atau yang hendak membelinya.
Hal ini sering membawa dilema bagi para pelaku industri kreatif. Seringkali mereka dihadapi dengan respons konsumen yang shock begitu mendengar harga yang mereka tawarkan. Mereka ini sebut saja pelukis, fotografer, desainer grafis, illustrator, dan lain-lain.
Tak jarang terjadi tawar menawar harga yang jauh lebih rendah dari yang dilemparkan pertama kali. Hal ini dikarenakan masih banyak orang yang belum mengerti apa yang melatarbelakangi pelabelan harga tersebut.
Logo adalah contoh karya seni yang harganya paling sulit ditebak, bahkan kadang sulit dimengerti. Dengan hanya sekali lihat, susah untuk menilai mana logo yang mahal maupun yang murah. Ambil contoh logo buatan Walter Landor untuk sebuah BUMN di tanah air yang nilainya mencapai milliaran rupiah.
Bandingkan, dengan harga logo merek produk olahraga terkenal, Nike, yang hanya US$ 35 atau tak sampai Rp 400 ribu. Dua-duanya sama-sama dilevelkan corporate besar dengan branding yang kuat. Lalu, dimanakah letak mahal dan murahnya?
Di sinilah letak perhitungan matematis yang sulit dipecahkan itu. Apakah kombinasi warnanya? Karena Landor menggunakan tiga warna sedangkan Nike hanya hitam polos tanpa tambahan apapun? Yang jelas dalam pembuatan logo-logo tersebut, satu hal yang paling berperan penting, yakni ide.Ide adalah barang yang mahal dan tidak bisa dibeli.
Sebuah logo juga harus bisa mewakili citra sebuah instansi atau perusahaan dan tidak bisa memakai sembarang warna atau bentuk. Elemen-elemen yang tergabung harus memiliki makna, seperti mengapa ada lengkungan ke atas, mengapa dibentuk lingkaran, atau mengapa ada dominasi warna merah.
Nantinya, logo tersebut akan menjadi impresi pertama bagi calon konsumen yang melihat. Pastilah semua ingin meninggalkan impresi yang baik bagi siapapun audience-nya.
Untuk membuat logo yang seperti itu banyak yang harus dikerahkan; yang paling utama ide, lalu skill, waktu, alat, dan tenaga. Logo dengan persiapan yang matang tidak bisa selesai sehari-dua hari.
Karena lagi-lagi, ide selalu datang di waktu yang tidak disangka-sangka. Bisa saja seharian duduk di depan komputer tapi tak dapat hasil apa-apa. Namun begitu esoknya mendapat ide, seorang desainer grafis bisa bekerja berjam-jam tanpa henti.
Kadang, itu yang sering terluput dari mata kita sebagai audience maupun penikmat karya seni. Sebuah logo yang telah jadi memang selalu terlihat gampang-gampang saja, siapapun dirasa bisa membuat yang sama persis. Padahal banyak proses panjang di baliknya dan banyak yang telah dikorbankan.
Maka dari itu penting sekali untuk memberikan apresiasi yang pantas, termasuk lewat bayaran yang bisa kita berikan, berapapun itu, selama kita mampu. (Mar)
Penulis
Selli Nisrina Faradila adalah mahasiswi Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Semarang, sellinisrxxx@gmail.com
Selli Nisrina Faradila adalah mahasiswi Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Semarang, sellinisrxxx@gmail.com
sumber : liputan6.com